Sabtu, 27 Desember 2008

Degradasi Haji dan Sejarah Islam di Indonesia

Dear Blogers,


Tulisan ini saya ambil dari penulis Belanda, Bernard H.M. Vlekke yg memuat sejarah Indonesia yg diterbitkan pada 1943. Ditulis beberapa bulan sebelum serangan Pearl Harbour. Eksplorasinya banyak bersumber dari perpustakaan di Harvard dan referensi Profesor C.C.Berg di Universitas Leiden.


Salah satu sebab kenapa saya mengambil tulisan Bernard Vlekke adalah kegunaannya dalam menjelaskan sebab-musabab terjadinya suatu peristiwa. Apa yg melatar belakanginya, dan apa yg memotivasinya. Biasanya peristiwa2 besar akan selalu terkait satu sama lain dengan sejarah lama. Para pengamat politik cenderung menggunakan ingatan pendek. Sebagai contoh meruyaknya kekerasan atas nama Islam dan meningginya letupan semangat peristiwa2 dikaitkan dengan periode orde baru (1966-1998) yg merujuk kepada sikap intimidasi Soeharto saat itu terhadap Islam.


Tekanan Soeharto terhadap Islam begitu besar saat itu, terutama pada masa awal kekuasanya. Se-olah2, ketika Soeharto tumbang, sepertinya ada ruang kebebasan yg cukup besar yg menyebabkan Islam politik bermunculan.


Penjelasan diatas bisa jadi beralasan. Namun mengabaikan faktor sejarah yg lebih panjang akan menghalangi kita untuk melihat persoalan secara lebih objektif. Apakah prasangka terhadap imperialisme Amerika berlebihan, ataukah pertarungan Islam dengan Barat demikian dahsyatnya, semua menjadi kesimpulan yg bisa anda tarik sendiri. Namun demikian, saya hanya mencoba menarik sejarah lebih jauh lagi dari pada telaah masa orde baru, agar kita terhindar dari penyakit ‘rabun jauh’, meskipun kesimpulan akhirnya dapat anda buat sendiri.


Merle Ricklefs, seorang sejarawan Australia, menyatakan dalam bukunya “polarising Javanese Society” memberikan gambaran gejala kebangkitan Islam di Indonesia. Ricklefs tidak membahas gerakan gerakan Islam kontemporer. Menurutnya, pada paruh pertama abad ke-19, yakni pada rentang 1830-1930, merupakan masa2 krusial pembentukan karakter Islam Indonesia.


Pendapatnya, bangkitnya semangat keagamaan yg muncul belakangan ini tidak muncul begitu saja, tapi merupakan rangkaian perjalanan panjang dari Islamisasi di Indonesia. Ricklefs meyakini bahwa proses penguatan terjadi pada 1830, yakni setelah berakhirnya Perang Jawa dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Pada masa ini terjadi “gelombang pasang kaum putihan” yg tidak tercatat sebagai peristiwa penting apapun di dalam pelajaran sejarah sekolah2 kecuali perebutan makam.


Ricklefs menggunakan istilah ‘putihan’ sebagai kata ganti kaum santri atau kalangan haji dan pelajar Islam yg pulang belajar dari tanah Mekkah. Ricklefs memakai istilah ini untuk mengidentifikasi perbedaannya dengan golongan ‘abangan’. Kaum atau golongan abangan adalah sebuah kata ganti dari golongan Islam priayi, kaum Islam kerajaan Mataram, yg sedikit banyak diwarnai dengan sintesa mistik (mystic synthesis) yg diambil dari berbagai tradisi dan khazanah budaya Indonesia pra-Islam. Kaum putihan memandang abangan adalah sebuah ajaran Islam yg tidak murni yg telah bercampur dengan tradisi, budaya, dan nilai2 lama yg masih tertanam seperti Majapahit dan Singosari.


Jika kita melihat kalangan haji dan pelajar Islam yg pulang belajar dari tanah Mekkah merupakan sisa dari mekanisme Haji Muhammad, dimana seorang yg berangkat haji, akan memakan waktu lebih dari setahun untuk menunaikannya. Mereka sendiri yg pergi ke Mekkah bukan hanya menunaikan rukun ibadah ritual, melainkan juga belajar melalui muzakarah dan diskusi dengan kalangan Islam lainnya dari berbagai belahan dunia. Saya berpendapat, dizaman itu, ada sesuatu yg mereka dapat. Bukan bahasa Arab atau jampi2 semacamnya, melainkan mendapat pelajaran konsep tatanan dan kesadaran mewujudkan konsep itu kedalam dimensi sebuah bentuk pemerintahan.


Sangat berbeda dengan ibadah haji hari ini, yg hanya menunaikan rukun haji dalam bentuk ritual individual. Tak ada inter-koneksi ataupun komunikasi dengan kaum Islam dari belahan dunia lain. Hari ini tak ada ruang karena di Arafah, sudah dipisah2 dan dipetak2 menurut negara. Tak ada waktu untuk berkomunikasi karena ibadah waktu di Arafah demikian singkat. Mekkah sendiri hari ini tidak menyelenggarakan konferensi atau diskusi antar negara pada penyelengaraan haji. Sebelum abad ke-19, setiap orang yg ber-haji “membawa pulang oleh2” konsep tatanan dan ilmu hukum yg bisa diimplementasikan kedalam bentuk daulah (politik). Berangkat haji pada masa itu bukan hanya sebulan seperti sekarang, melainkan bertahun2, hingga bahasa tidak menjadi kendala. Seorang yg pulang dari haji, benar2 orang yg pulang belajar, dan mereka belum pulang sebelum mengerti isi Al-Qur’an. Berbeda dengan kepulangan haji saya beberapa tahun yg lalu yg hanya membawa oleh2 tasbih dan cindera mata dari ‘pasar seng’.


Fenomena haji di Abad ke-21 sekarang sudah berbeda. Mekkah sendiri sudah tidak lagi punya Ulama yg mengajarkan konsep daulah (politik-pemerintahan). Mekanisme haji sebagai sebuah konfrensi sudah lenyap, apalagi muzakarah internasional yg membahas konsep hukum dan tatanan sosial politik didalam Al-Qur’an. Saya pernah menceritakan kepada polmaners ketika kami diskusi dengan orang Afganistan dan Pakistan di masjid Nabawi, banyak mata2 Amerika mencuri dengar pembicaraan hingga kami harus menghentikan diskusi.


Para haji yg pulang belajar dari Mekkah, memainkan peranan besar dalam menyemai tumbuhnya kaum putihan di Indonesia. Perluasan kaum santri diadakan jauh sebelum periode order baru. Mereka inilah yg secara terus menerus memurnikan ajaran Islam di Indonesia. Sejarawan modern Indonesia, Harry J.Benda, menyatakan fenomena derasnya berbagai gerakan Islam belakangan ini, sangat erat kaitannya dengan perluasan kaum santri oleh para haji yg pulang belajar dari Mekkah dahulu. Pergulatan kaum putihan melawan sintesa2 mistik kaum abangan, menjadi ciri khas perkembangan Islam di Nusantara.


Nusantara sendiri adalah kata yg merujuk kepada Majapahit. Dibawah kendali patih besarnya Gajah Mada, Nusantara adalah model negara kesatuan Indonesia dimasa silam. Meskipun umur kerajaan ini hanya singkat (1293-1389) namun kenyataannya, pada masa menjelang kemerdekaan, para pendiri republik ini cukup gencar mendiskusikan akar2 kesatuan Indonesia dari kerajaan ini. Muhammad Yamin, adalah tokoh yg paling gencar mempromosikan Majapahit sebagai model bagi negara kesatuan Indonesia modern. Bagi Yamin, bukan Singasari atau Kerajaan2 Islam yg mempersatuakan Nusantara, tapi Majapahit. Padahal, bagi Belanda sendiri, Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah tidak pernah ada kecuali setelah mereka datang, itulah Hindia Belanda.


Keruntuhan Majapahit menjadi akhir sejarah imperium Jawa yg di agung2kan kaum abangan. Keruntuhannya menjadi salah satu isu panas yg memicu ketegangan antara kelompok santri dan kelompok abangan, yg banyak berafiliasi ke Budi Utomo dan menganggap Islam sebagai penyebab keruntuhan Majapahit. Padahal, ketika Ayam Wuruk mangkat, belum ada Kerajaan Islam di Jawa. Yg sesungguhnya terjadi adalah selama periode kemunduran Majapahit, armada asing dari China mulai menguasai jalur perdagangan di Nusantara, dimana pada awal abad ke-15, para pelaut Eropa (Spanyol dan Portugis) mulai merapat ke pantai2 Jawa. Dua kekuatan besar inilah yg memainkan peranan sangat penting atas terpinggirnya kerajaan2 Hindu di jawa pada satu sisi, dan memunculkan kerajaan2 Islam pada sisi lain.


Selain Demak, ada sebuah Kerajaan Islam yg bernama Mataram, yg lebih dari separoh periodenya dikuasai oleh raja2 Muslim Jawa. Sultan Agung adalah pendiri kerajaan Mataram Islam (1613). Meskipun ia penerus langsung kerajaan Mataram Hindu, Sultan Agung tidak pernah merasa bahwa kerajaanya berdiri di atas kehancuran Majapahit. Bahkan sebaliknya, ia menganggap sebagai penerus Ayam Wuruk. Gaya hidupnya sendiri sangat mengagumi moyangnya tersebut.


Raja2 Islam Jawa jelas lebih dekat ke tradisi Majapahit ketimbang ke tradisi Islam disemenanjung Arab atau pesisir Sumatera. Transisi dari Hindu-Budha ke Islam tampaknya tidak banyak mengubah tradisi yg ada. Raja2 muslim Jawa masih meneruskan tradisi moyang mereka termasuk dalam melakukakn ritual2 kerajaan yg sangat kental bernuansa Hindu-Budha.


Vleke mempunyai penjelasan sinkretisme, penjelasan menarik mengapa masyarakat Jawa berbondong2 masuk Islam, tapi pada saat yg sama memiliki pemahaman dan praktik keagamaan yg begitu bersahabat dengan tradisi lokal. Menurut Vleke, mereka memilih Islam bukan lantaran mereka suka dengan agama itu, melainkan situasi politik yg menyebabkan mereka bertindak demikian. Ketika pada abad ke-16, para Pelaut Portugis mulai menjejakkan kakinya di pantai2 Jawa, para raja dihadapkan pada pilihan yg sulit, antara besekutu dengan Portugis, atau bekerjasama dengan Johor dan Demak, yg berarti harus memilih antara Kristen dan Islam.


Melihat perilaku Portugis dan catatan2 kecurangan mereka, Raja2 Jawa lebih memilih Islam. Selain kedekatan budaya dan sejarah masa silam, kekuasaan Islam dikenal sebagai pemerintahan yg fleksibel dan penuh toleransi dalam tradisi karena tak harus mengganti tradisi mereka.


Situasi pada masa itu sedemikian kisruh sehingga terjadi ketegangan antar banyak pihak yakni antar kerajaan2 Islam, Kerajaan2 Jawa, kerajaan2 lain di Nusantara, juga antar koloni Eropa sendiri. Vleke menyebutkan inilah yg menyebabkan kesuksesan Belanda menjajah Indonesia. Negeri kincir angin tersebut bukan menguasai karena punya persenjataan yg kuat, melainkan selama lebih dari 60 tahun, kerajaan2 Nusantara saling berperang dan menguasai. Belanda masuk pada saat yg tepat. Kadang sebagai penonton, kadang sebagai wasit yg memihak salah satu pemenang, yg kemudian dikuasainya.


Satu demi satu Kerajaan Nusantara jatuh ketangan Belanda. Pada tahun 1680, hampir seluruh perairan yg pernah dikuasai Majapahit dikuasai dan direstorasi oleh Belanda. Kekuatan ini menjadi penguasa kedua yg terbesar di Nusantara setelah Gajah mada. Hanya beberapa pulau kecil yg luput, termasuk Bali, karena penduduknya suka berperang. Raja disitu selalu berperang dan saling menangkapi lawan mereka untuk dijadikan budak. Saat itu tak ada sumber alam yg menarik buat Belanda selain budak belian.


Selama tiga setengah abad, Belanda dapat mengontrol tanah Nusantara meski menghadapi ratusan pemberontakan dan perlawanan yg luar biasa. Meski resistensi datang dari beragam kalangan dan etnik, namun yg paling merepotkan Belanda adalah perlawanan atas nama Islam. Kekhawatiran Belanda terhadap perlawanan kaum muslim bukan lantaran kaum muslim memiliki persenjataan yg canggih dan memadai, melainkan karena tergalangnya solidaritas yg luar biasa antar muslim. Solidaritas ini akn melibatkan banyak sekali orang yg sulit dibendung.


Salah satu ikatan solidaritas yg menggalang kaum muslim hingga mengetuk hati dan membangkitkan gelora semangat perlawanan adalah Jihad. Konsep ini mungkin sudah lam didengungkan, namun mencapai klimaks dan menjadi kesadaran di alam nyata pada akhir abad ke-17, ketika Kerajaan Mataram dan Banten jatuh ke tangan Belanda. Sudah pasti muslim di Indonesia mengetahui konsep ini sejak lama, namun baru setelah mereka berhadapan secara nyata dengan “kaum kafir londo” arti jihad menjadi jelas.


Wacana ini menjadi motivasi dan penggerak dikalangan kaum muslim yg merasa tidak puas dengan keadaan. Mereka dengan serta merta melibatkan diri dalam gerakan2 jihad. Belanda harus bekerja keras membasmi gerakan jihad ini dan berusaha menangkap para pemimpinnya. Syeikh Yusuf, ulama asal Makasar, yg memiliki banyak pengikut di Banten, ditangkap dan diasingkan oleh Belanda ke Afrika.


Di Mataram, benih2 jihad sudah disemai sejak awal abad ke-18, ketika kontrol Belanda terhadap daerah2 semakin kuat terutama terhadap keraton. Namun Jihad baru bisa dipanen pada 1825, ketika seorang Pangeran Jawa yg taat, Diponegoro (Difa:pertahanan, Negoro:Negara) menyerukan konsep ini dan mengobarkan semangat perang melawan Belanda. Jihad yg dikomandoi Diponegoro merupakan gerakan perlawanan terhadap Belanda yg paling berbahaya dan paling masif yg pernah dihadapi Belanda di Jawa (mungkin juga diseluruh Nusantara). Diponegoro melakukan jihad selama lima tahun dengan cara terang2an dan bergerilya. Peristiwa yg dikenal sebagai perang Jawa ini berakhir pada 1830 dengan ditangkapnya sang pengobar Jihad yg kemudian dibuang ke Minahasa. Catatan Vlekke hampir 15.000 serdadu pemerintah gugur, diantaranya 8.000 orang Eropa. Jumlah orang Jawa yg mati akibat perang, penyakit, dan kelaparan perang diperkirakan mencapai 200.000.


Perang Jawa menciptakan trauma yg begitu besar bagi Belanda, dengan Jihad menjadi kata yg sangat menakutkan. Mereka tidak menyangka, orang2 Jawa yg tadinya sinkretis dan tolerans, tiba2 menjadi pemberang dan berani berperang. Kegelisahan ini kemudian mendorong pemerintah kolonial untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang Islam, seperti perjalanan haji dan kiprah pelajarIndonesia di Mekkah. Hingga pada awal 1880-an, pemerintah kolonial mengundang Christian Snouck Hurgronje, profesor dan guru besar studi Islam di Universitas Leiden, untuk mempelajari mengapa agama orang Arab membuat orang Jawa memberontak.


Diluar dugaan, Snouck melakukan kajian yg sangat intensif. Ia berkunjung ke Aceh, masuk Islam dan pergi Haji. Hasil temuannya menjelaskan bahwa ibadah haji merupakan benang merah keterkaitan antara orang Jawa dan orang Arab. Snouck menemukan bahwa para haji tidak hanya melakukan kegiatan ritual individual disana. Mereka tidak hanya pulang dengan membawa korma dan air zam-zam, melainkan juga ideologi Muhammad. Para haji inilah yg menjadi penggerak perlawanan dan mengajarkan ajaran Jihad. Temuan ini dilaporkan kepada pemerintah kolonial guna dilakukan upaya penanganan sistematis terhadap muslim di Jawa dan Nusantara.


Snouck, dibantu oleh seorang jawa, pulang sebagai mualaf, yg menyebarkan ajaran dan faham moderat sebagai counter atas pemahaman Jihad. Ia merangkul kalangan abangan, kalangan Islam priayi yg sinkretis. Usaha perlawanan pemerintah kolonial dengan senjata sangat penting posisinya pada saat itu, namun usaha yg dilakukan Snouck untuk memerangi pemahaman Islam putihan berefek jauh lebih permanen bahkan hingga sekarang. Snouck dan kalangan abangan, senantiasa berorientasi surga dan tasauf. Ajakannya adalah menjauhi perang dan senjata, serta menjauhi dunia. Snouck bukan hanya ahli Al-Qur’an, iapun mempelajari ribuan Hadits. Ia me release Hadist2 yg berorientasi akhirat, menjauhkan muslim dari Al-Qur’an, dan berhasil memenjarakan kaum putihan kedalam masjid.


Hari ini, tak ada lagi aktifitas haji yg berupa konfrensi internasional. Para haji membawa oleh2 lebih banyak, namun tak satupun ilmu yg didapat. Arafah sendiri sudah tidak seperti ratusan tahun yg lalu. Mereka datang dari berbagai belahan dunia. Arafah adalah tempat berkumpul berbagai ras dan bangsa, namun tak ada transfer ilmu disana. Yang ada hanya perkemahan orang2 pencari surga. Orang2 yg berorientasi akhirat, dan haji seolah aktifitas pencucian dosa setiap tahunnya. Bisa jadi laporan Snouck tidak hanya diterapkan untuk Nusantara, namun laporannya menjadi model dan platform pihak Barat dalam memerangi gerakan perlawanan yg mengatas namakan Jihad, dengan cara mendikotomi artinya, serta menguasai sumbernya yakni Saudi Arabia, yg hari ini berafiliasi terang2an kepada Barat. Jika sumber sudah dikuasai, tidak hanya dikotomi arti terhadap jihad yg sudah tak bermakna, haji itu sendiri sudah tidak lagi menjadi konfrenesi atau tempat kaderisasi para calon pemimpin. Karena sumber mata air jernih sudah kering.


Meskipun kafir londo telah minggat, Nusantara hari ini seperti ingin kembali bergolak. Banyak orang berteriak Jihad. Apakah seragam putih mereka menandakan kaum putihan?! Ataukah hanya seperti kabut putih yg menghalangi pandangan?! Kafir mana yg diperanginya ? Jangan2 hanya kaum sinkretis dan abangan yg mengenakan putih2.


Salam
aca
19Dec08

2 komentar:

Unknown mengatakan...

hehehe mampir lagi, baca sambil ngopi ...

andrycahya mengatakan...

wuallah ... ngopi gak ngajak2..