Senin, 11 Mei 2009

Islam dan Arabisme (940)

Dear Bloggers,

Jika anda lihat masyarakat hari ini yg penuh dgn berbagai kepercayaan dan pemahaman tak berdasar, anda akan menemukan berbagai keganjilan. Dari mulai upacara buang saji di laut Kidul sampai Wirid dan komat kamit Tahlil di masjid.

Adakah perbedaannya? Saya kira tidak.

Bedanya cuma hibrida lokal dan hibrida internasional. Hibrida lokal lebih terasa campuran tradisionalnya, dikarenakan kita langsung mengenalinya. Sedangkan hibrida dari luar rada sulit. Kenapa? Karena kita gak kenal budaya dan tradisi luar itu. Wuong kedua tradisi itu pake baca syahadat.

Tak akan pernah anda lihat tari payung pada acara maulud, namun Rebana kerap menjadi puncak hiburan pada acara maulud Nabi. Apa sebenarnya yg terjadi? Apakah karena Nabinya dari Arab hingga yg boleh ditampilkan hanyalah budaya dan tradisi dari Arab? Kenapa tradisi upacara buang saji dianggap musyrik sedang wirid sampai tak sadarkan diri (trens) yg asalnya dari kaum hasisin dianggap tauhid ?!

Al-Qur'an tidak turun dalam bahasa sunda, melainkan dalam bahasa Arab. Tak ada implikasi buruk pada awal implementasinya, dikarenakan orang pada zaman itu membaca isi kandungannya. Hari ini, implikasinya jauh berbeda, karena orang tidak lagi mempelajari isi kandungannya.

Huruf2 keriting itu mnjadi suci bukan dari makna isinya. Bunyinya menjadi suci untuk di ucapkan. Bentuk2nya mnjadi suci jika buat ornamen (kaligrafi), bahkan kertas cetakannya menjadi suci yg tak boleh dibawa ke WC atau ditaruh dikolong meja.

Mungkinkah dengan membunyikan suatu bunyi kemudian kita bisa mendapat berkah?
Mungkinkah bunyi2an dalam bahasa Arab yg tak pernah kita mengerti artinya membuat Allah senang?

Implikasi tradisi ini tidak hanya pada segala yg menyangkut Al-Qur'an terhadap segala sesuatunya selain isi, bahkan bahasa dan budaya yg menyangkut Al-Qurkan dan sejarah daerah diturunkannya menjadi suci. Bahasa dan budaya Arab menjadi mulia, bahkan tradisi dan segala sesuatunya yg bersinggungan dengan Arab terangkat derajatnya sedemikian tinggi sampai sekarang.

Orang Arab jadi seperti warga yg lebih tinggi dibanding orang Sunda. Bahkan Orang Arab yg secara implisit mendefinisikan diri sebagai bangsa keturunan Muhammad, seperti halnya suku Aceh yg merasa keturunan Cut Nyak Dien, seperti punya aroma surga.

Kalau begitu, kasihan juga yach dengan orang sunda, sering membanggakan diri sebagai keturunan Nyi Dayang Sumbi, padahal didalam legendanya suaminya seekor anjing.

Apakah sebuah pemahaman yg kita anut selama ini bentuk asli dari pemahaman Nabi Muhammad, ataukah bentuk hybrida antara pemahaman dan tradisi?
Apakah budaya Arab punya efek domino surga?

Salam
aca