Jumat, 20 Februari 2009

Agama dan Materialisme Credit (928)

Dear Bloggers,


Kenapa seorang rahib bisa hidup menyendiri di biara2 terpencil di ujung pegunungan Tibet yg jauh dari peradaban, hanya dengan slembar kain dililitkan ke badan, dan menjauhi dunia ini? Pertanyaan ini posisinya sama dengan kenapa seorang biarawati yg rela tidak disentuh lawan jenis, hidup dalam biara, pakaian dan makan seadanya? Jangan lupa, kedua pertanyaan tersebut juga sama kedudukannya dengan mengapa seorang sufi bisa hidup didalam hutan, di gua2, pakaian compang-camping, makan seketemunya?


Bloggers,


Kita harus akui sikap jempolan mereka untuk tidak menyentuh sesuatu yg sifatnya kenikmatan atau kesenangan raga. Mereka begitu gigihnya untuk tahan, bahkan tidak menyentuh sama sekali. Tak ada sedikitpun mereka manjakan badan. Tak secuilpun kesenangan raga mendapat perhatian. Bahkan para martir, menganggap raga itulah pangkal dari seala malapetaka. Beberapa rahib menggunakan ‘cecil’, ikat pinggang dari duri yg dililitkan ke paha guna sipemakai merasakan sakit dan perihnya Jesus dulu disiksa.


Cecil, ikat pinggang dari duri yg selalu dikenakan martir dan biarawan Ordo Opusdei Gereja ortodoks dipaha membuat luka yg tidak kecil. Ketika luka mengering dan mulai sembuh, biasanya cecil diketatkan lagi. Pengencangan atau pengetatan cecil membuat luka baru diatas luka lama, memberikan pedih yg tak terkira. Beginikah ritual yg diinginkan Tuhan buat manusia?!


Konsep ini sering kita jumpai dalam berbagai praktik ritual keagamaan dan kepercayaan dari mulai Dalai Lama, Budaya Hindu Budha di Bali pada masa silam atau praktik zuhud pada kaum sufi untuk menjauhi dunia agar tidak bersentuhan dengan dosa. Konsepnya sebenarnya sederhana, yakni menjaga diri dari jebakan hawa nafsu duniawi, permintaan raga, kebutuhan fisik badan agar senantiasa bersih. Semua akarnya sama yakni pencucian dosa. Jenis dosanya macam2, ada yg dosa made in sorangan, ada yg dosa warisan.


Dikarenakan kegigihan mereka menjauhi perbuatan dosa, dan lingkungan mereka yg radiusnya jauh dari pusat peradaban, maka apa yg mereka lakukan menjadi pesona tersendiri bagi kalangan awam. Kebanyakan kalangan awam memandang mulia apa yg mereka kerjakan. Namun apakah benar demikian?


Apakah Tuhan menginginkan mahluknya menderita?
Apakah Tuhan menginginkan kita lapar?
Benarkah Tuhan menyuruh kita menjauhi peradaban?
Benarkah dunia ini adalah jebakan? Peradaban sebagai bara apai neraka?
Bagaimana mungkin tubuh yg diciptaNya harus merasakan siksa?
Apakah kita berhak menyiksa diri kita?


Bukankah penis (maaf) dibuat seperti shaft (batang) agar bisa melakukan intercourse terhadap lubang.
Jika memang hidup tidak kawin lebih mulia, mengapa pendeta ber-batang?
Bukankah itu menyalahi fungsi dan keberadaan?
Bukankah semua mahluk hidup layak kawin, dari kucing sampai manusia kecuali pendeta?
Mengapa menyalahi keberadaan hukum alam?


Seorang pertapa bisa absen makan absen minum selama 3 hari 3 malam. Ia seperti tak merasakan lapar. Konon ia bahagia, sebab memang kebahagiaan itu banyak macam dan ragamnya. Judulnya sama saja dengan pemakai cecil, ‘sengsara membawa nikmat’.
Banyak cerita yg terwujud ketika bandan kekurangan nutrisi, darah terpompa malas ke otak. Sang pertapa pun konon melihat mahluk2 bersayap itu, mahluk bercaling, atau penampakan2 dari khayalannya.


Saya dan teman pernah surfing di daerah Ujung genteng, ombak besar di Jawa Barat yg hanya bisa dicapai lewat jalan air (perahu). Daerah pinggirnya tebing curam, tempat ombak besar menghantam. Tiba2 saja kawan saya tali legropenya putus (pengikat antara kaki dengan papan luncur), ombak membawa papannya ke tebing itu. Ia terpaksa harus berenang selama dua jam untuk menghindari hantaman ombak di tebing karena arus kuat yg mengarah kesana dan mendarat kearah pantai pasir. Ia pun mendarat di pantai itu, pantai perawan yg tak terjangkau, tak pernah diinjak orang, hutan yg benar2 liar. Bloggers, anda tahu ia bertemu siapa? Seorang kakek tua Sufi yg berpakaian lusuh compang camping dengan sorban dan raut muka yg tak menjumpai air tawar dan makan yg cukup selama ber-bulan2. Ia meminta tebusan dari papan surfing yg ditemukannya itu.


Apakah Tuhan menginginkan hambanya menjauhi dunia peradaban dan menyepi ke hutan perawan?
Apakah makanan dan air yg cukup menjauhkan manusia dari Tuhannya?
Apakah kekurangan makanan dan pasokan duniawi menjamin kedekatan manusia dengan Penciptanya?


Lantas apa yg mereka cari?
Apakah mereka memang orang suci yg memang benar2 tidak membutuhkan makan dan sex serta fasilitas?


Saya kira tidak.
Tak ada manusia yg tidak membutuhkan semua itu.
Tak ada orang yg gak butuh makan.
Bohong kalau ada yg bilang hawa nafsu saya sudah mati.


Tidak Bloggers, hawa nafsu adalah komponen yg tak terpisahkan dari badan.
Ia akan selalu dan selalu ada. Kita hanya bisa menyetirnya, mengendalikannya, bukan membunuhnya.
Hawa nafsu tak kan pernah bisa dibunuh, meskipun para rahib biarawan dan sufi menyatakan sudah membunuhnya.


Kenapa demikian?
Karena konsep dari para agamawan tidak meminta bayaran cash.
Mereka juga punya hawa nafsu duniawi, tetapi mereka memintanya secara credit.
Mereka punya khayalan rewards tersendiri yg dipercaya akan dibayar nanti setelah matinya.
Mereka yakin bukan sekarang pelampiasan sex, karena yg menang adalah yg dapat menundanya.
Menurutnya, Jika kita bisa menunda sex, maka nantinya akan dibayar dengan sex yg orgamsenya 40 tahun (wadaw !).
Jika kita tak mengikuti hasrat duniawi sekarang, maka nanti kita akan dibayar dengan istana2 mentereng.
Dan jika kita tidak tergiur dengan segala isi dunia, konon kita punya sebuah istana dengan 7 kamar dengan tiap2 kamarnya 7 bidadari (dan tiap2 bidadarinya ada 7 lobang –red).


Inilah konsep asli, konsep dasar dari segala macam agama, yg asal muasalnya bukan dari mana2 selain duga2 dan karangan orang. Khayalan dan perkiraan manusia akan alam sesuadah mati. Semua agama ya begini, menyakiti diri guna meringankan dosa (pribadi maupun limpahan) dengan menahan kebutuhan dan keinginan sekarang, karena konon orang sholeh mintanya bukan sekarang, tetapi nanti, nanti dan anti.


Hidup mereka bukan buat sekarang, melainkan buat nanti.
Mereka hidup bukan untuk kehidupan, melainkan untuk kematian.
Mereka sebut sebagai logika agama, logika paradoks, logika kebalikan.
Kemuliaan dunia adalah kehinaan akhirat.
Kehinaan dunia adalah kemuliaan akhirat.
Kejayaan hidup adalah kematian.
Dan justru ketiadaan adalah hakikat dasar kehidupan.


Pokoknya, kalau anda belajar logika agama, akal sehat yg anda miliki, mesti anda letakkan di dengkul.
Logika agama, efeknya tidak jauh dengan pil koplo. Tak ada yg ilmiah kecuali mistik dan khayalan.
Padahal, nafsu dikepalanya sama dengan siapa saja.
Judulnya ya materialis2 juga.
Bedanya mereka tidak minta dibayar tunai, melainkan di kredit, nanti saja di’sono’.



Salam
aca

Tidak ada komentar: