Selasa, 31 Maret 2009

Jejak Petualang (936)

Seorang Petualang bukan orang yg cepat puas. Seorang petualang senantiasa mencari dan mencari jawaban atas pertanyaan yg bersemayam dikepalanya. Ia kerap mempertanyakan ada apakah dibalik batas tembok kota tempat ia tinggal? Buat orang2 kebanyakan, mereka cukup puas hidup di dalam benteng kota. Bisa makan, bisa berdagang, bisa beranak pinak dan menjalani hidup seperti kebanyakan orang lainnya. Tak perlu bersusah payah, kota telah menyediakan segalanya, itulah dunia, sesuatu yg ada di depan matanya.


Tetapi untuk seorang Petualang, jiwanya dipenuhi oleh rasa ingin tahu yg berkepanjangan. Pandangannya tidak hanya tertuju pada aktifitas orang2 di dalam kota atau riuh ramainya pasar kota yg ada di dalam benteng kota. Ada rasa ingin tahu, apa gerangan yg ada dibalik tembok ini? Apa yg ada diluar sana selain pasar kota, orang2 yg ramai, para penduduk kota yg riuh ramai, para pedagang, para prajurit kerajaan, penjaga2 kerajaan, atau istana raja dan penghuninya yg kerap memunculkan diri, dan aneka sesuatu yg ada didalam tembok kota.


Jiwa petualang berbeda dengan kebanyakan orang yg senantisa menerima keadaan sebagai sesuatu yg solid dan tak bergerak. Kebanyakan orang melihat kehidupan didepan matanya, kehidupan orang2 yg berseliweran didalam kota, kehidupan istana, dan kehidupan sang Raja dengan istananya adalah kehidupan yg mantab tak tergoyahkan. Kehidupan yg menjadi sebuah kebenaran yg nyata. Tak ada yg mungkin berubah, tak ada yg ber-evolusi. Di mata orang banyak, segala sesuatu telah berjalan ber-bulan2 bertahun2 seperti itu. Itulah sesuatu yg tetap dan tak berubah. Suatu yg absolut dan mutlak untuk diterima, dijalani, dan dilakoni.


Orang banyak tidak pernah melihatnya sebagai sesuatu yg harus difikirkan, apalagi dirubah atau diperbaiki. Segalanya harus berjalan seperti apa adanya tanpa perubahan. Mekanisme orang2 dipasar, tradisi dan budaya tahunan, pesta2 dan perayaan kerajaan, titah Raja dan para pejabat istana, dsb. Itulah kebenaran bagi orang banyak. Tembok kota adalah batasannya. Tak ada apapun yg patut dilakoni diluar tembok kota ini.


Orang banyak sangat khawatir akan sebuah perubahan sekecil apapun. Mereka tak pernah mau ambil resiko. Mekanisme orang2 di dalam kota, tradisi dan budaya yg telah ada, bahkan keberadan dirinya sendiripun tak pernah dipertanyakannya. Kenapa ia menjadi rakyat, atau kenapa seorang Pangeran bisa menjadi Pangeran, yg kemudian menjadi Raja. Jangankan untuk berfikir menjadi Pejabat istana, untuk merubah nasibnyapun ia tak berani. Sebuah perubahan, sekecil apapun, bisa menjadikannya suatu yg terlalu beresiko.


Kota dengan batasan temboknya adalah sebuah kehidupan absolut yg harus diterima oleh orang banyak sebagai masyarakat sebuah negeri. Tembok kota adalah penyelamat kehidupan orang banyak. Ia melindungi dari serangan para perampok dan orang2 jahat dari penduduk negeri yg lain. Tembok kota menghalangi pandangan orang luar untuk melihat kedalam, meskipun menghalangi orang dalam kota juga untuk melihat keluar. Berfikir keluar dari batas tembok kota bukan sesuatu yg bisa dilakukan oleh orang kebanyakan.


Petualang, adalah orang yg berbeda, ia tidak seperti orang kebanyakan. Petualang adalah orang yg berfikir yg kemudian bertindak. Ketika pertanyaan2 muncul dari dalam dirinya, ”Mengapa seseorang menjadi pejabat istana? Mengapa Seorang menjadi Raja? Mengapa ada tradisi rakyat ini? Mengapa ada pesta anu? Apa makna dari pesta itu? Mengapa ada peraturan ini? Mengapa ada peraturan itu? Mengapa harus begini? Dan mengapa harus begitu?”


Petualang, tidak hanya berfikir dalam lingkup kotanya saja. Ia punya pertanyaan besar yg berkecamuk, ada apakah dibalik tembok kota ini? Apakah ada orang2 yg sama diluar sana. Apakah ada negeri2 lain diluar sana ? Apa yg mereka kerjakan di negeri2 lain itu? Lebih baik kah kehidupannya atau lebih buruk? Bagaimana tradisi2 nya? Bagaimana pesta tahunannya? Bagaimana Pejabat dan Para Rajanya? Dan bagaimana sejarah kota ini dulunya hingga ia bisa berdiri seperti sekarang?


Pertanyaan2 ini adalah pertanyaan dasar dari setiap orang, namun Petualang memikirkannya, orang banyak tidak. Petualang berfikir dan menganalisa, orang banyak tidak. Petualang menggunakan akalnya, orang banyak tidak menggunakannya, orang banyak menerimanya sebagai suatu yg memang harusnya begitu dari dulunya. Petualang selalu kritis, mengkritisi sesuatu, menanyakan, sedang orang banyak menerimanya saja dan tak mau ambil resiko. Petualang adalah pengguna akal, orang banyak adalah penerima nasib dan keyakinan. Menurut kebanyakan orang, apa yg telah dijadikan tradisi banyak orang adalah sesuatu yg pasti benar adanya.


Manalah mungkin sesuatu yg salah bisa dilakukan banyak orang. Pastilah sesuatu yg hanya benar saja yg dilakukan oleh orang banyak, buktinya adalah ya itu tadi, banyak orang yg melakukannya. Mana mungkin orang yg demikian banyak bisa salah. Oleh karena itu, apapun itu, ikutilah pendapat orang2, karena pendapat orang2 itu pastilah yg benar karena banyaknya. Semakin banyak orang yg setuju atau meyakini sesuatu maka sesuatu itu semakin besar kemungkinan mendekati kebenarannya.


Demikianlah pendapat kebanyakan orang. Sesuatu yg kadung disetujui banyak orang akan semakin banyak saja jumlah orang yg menyetujuinya. Kenapa? Karena modusnya sama dengan lalat. Jika ada dua atau lebih lalat yg menghinggapi sesuatu, maka lalat2 lain akan menyangka ada sesuatu yg lezat untuk diperebutkan. Semakin banyak gerombolan lalat pada sebuah jebakan lalat maka akan semakin banyak pula lalat yg menggerombol pada tangkai perangkap lalat itu.


Kebalikannya, lalat tak akan peduli akan apa yg ada didepan matanya. Yg mereka pedulkan adalah kawan2nya sendiri. Jika ada dua ekor saja secara kebetulan terbang ke arah selatan, kawannya yg lain akan memperhatikan gerak geriknya. Dan ketika ia hinggap pada sesuatu, kawannya yg lainpun mencoba meliriknya, apakah ada lalat lain yg mengerubutinya, sementara ia pun terbang kesana kemari mencari gerombolan lain yg lebih menarik dan menjanjikan.


Perilaku ini bisa kita lihat pada rumah makan dipinggir jalan. Andainya rumah makan itu sepi pengunjung, pastilah ada keengganan orang untuk menghampiri dan berhenti. Yg ada dalam benak kita adalah kenapa tak ada yg berhenti. Pastilah rumah makan itu tak punya hidangan yg lezat untuk dimakan.


Kebalikannya pecel bu Sri yg mangkal di simpang lima Semarang, sungguh luar biasa penuhnya. Tak henti2nya bu Sri melayani pembeli. Pengunjungnya begitu fantastis, antri gak karuan. Kenapa orang rela antri di pecel bu Sri. Padahal sebelahnya banyak sekali yg jual pecel. Sungguh saya sudah coba pecel non bu Sri. Dari A sampai Z ya isinya sama, nasi dan pecel.


Jika pembaca ingin membeli bandeng presto di Semarang fenomenanya lebih extrim. Begitu berderet-deret banyaknya toko yg menjual bandeng presto. Sangatlah banyak toko yg menjualnya. Namun pembaca yg sudah ke sana pasti tahu, lebih dari 90% orang yg datang hanya mengantri di satu toko, namanya Bandeng presto Juwana. Konon rasanya beda. Pembaca, saya sudah membeli dari tiga toko yg berbeda, saya dan kawan saya yg orang Semarang tak pernah bisa membedakan rasanya, yg mana Juwana dan yg mana yg bukan.


Kalau ingin melihat modus lalat lainnya, pembaca bisa datang ke Jombang. Ribuan orang antri hanya untuk mendapat air kobokan seorang anak yg bernama Ponari. Begitu banyaknya orang ber-duyun2 mendatangi seorang bocah yg konon kata orang bisa menyembuhkan penyakit siapapun yg meminum air kobokannya dengan batu mustika yg digenggamnya.


Begitulah orang banyak, seperti lalat, menggerombol pada yg sudah bergerombol, mengikuti yg banyak, menghindar dari resiko minoritas. Padahal lalat hidup tidak mencari buah yg baik, makanan yg baik. Lalat terbang bergerombol hanya untuk menempel pada bangkai dan kotoran.


Seperti halnya lalat, manusia memiliki tradisi yg sama, cenderung mengikuti pendapat orang kebanyakan. Sesuatu yg banyak disetujui oleh orang2 akan semakin besar kemungkinannya untuk disetujui yg lainnya. Paling tidak, dasar logikanya ada sebuah kriteria yg telah tembus yakni, telah ada orang lain yg telah mempertimbangkan memikirkan dan mengambil keputusan untuk menyetujuinya. Bahkan secara tak sadar, kriteria ini menjadi lebih kuat kedudukannya sebagai alat penguji dibanding pertimbangan dan logika pemikirannya sendiri. Manusia, seperti juga lalat, lebih mempercayai pertimbangan keputusan yg diambil orang lain dibanding pertimbangan keputusannya sendiri. Itulah yg dinamakan psychology masa. Suara orang kebanyakan adalah suara kebenaran, dan kebenaran itu pastilah banyak orang yg menyetujuinya.


Is that true ? (wuihh,,, boso Inggris rek .,.,).


Salam
aca

1 komentar:

Anonim mengatakan...

salam sejahtera pak,saya setuju banget dengan kajian bapak,memang sekarang ini manusia kebanyakan mengikuti pendapat dan arus orang banyak tanpa menelaah dulu firman dari allah apakah haq atau bathil, walaupun itu datangnya dari orang bersorban dan berjubah putih.dan lebih parah lagi sudah nyata kerusakanya malah pasti diikutin aja.aneh