Sabtu, 27 Desember 2008

Iman dan Semak belukar

Dear Blogers,

Tidak semua bibit yg akan ditanam petani dapat tumbuh berekembang menjadi besar dan menghasilkan. Sebelum ia melakukan penyemaian, ada beberapa yg jatuh ke pinggir jalan ketika dibawanya. Kemudian burung-burung yg lapar datang untuk memakannya.

Beberapa lagi tercecer di bebatuan yg mengandung sedikit tanah. Tanah yg sedikit itupun memberikan kesempatan tanaman itu tumbuh menjadi tunas, tetapi ia belum memiliki akar yang kokoh. Dan ketika matahari terbit dengan terik menyinari bibit yg baru tumbuh itu, maka tunas itu segera layu dan tak lama ia pun mati.

Ada pula bibit yg jatuh di rerimbunan semak belukar yg berduri. Bibit itu bisa tumbuh menjadi pohon kecil diiringi oleh semak belukar yg juga tumbuh jauh lebih besar. Kemudian Semak belukar yg semakin besar itu menghimpit pohon yg kecil itu, hingga tidak mendapatkan ruang untuk tumbuh dan berkembang.

Kemudian ada pula bibit yg jatuh di tanah yang baik. Maka bibit-bibit itu segera tumbuh menjadi pohon-pohon yang besar, memiliki akar yg kuat sebagai pijakannya, terus tinggi besar hingga dapat menghasilkan buah yg banyak dan enak dimakan.

Cerita ini adalah firman Allah yg berisikan perumpamaan perkembangan kesadaran atau iman seseorang.

Orang yg memiliki niat untuk beriman kepada Allah tetapi tidak juga memahami bagaimana cara beriman –disebabkan masih menggantungkan kecintaannya kepada selain Allah, akan mudah terpengaruh oleh bujukan orang-orang yg sesungguhnya tidak menyukai Allah untuk menjadi satu-satunya pengatur hidup manusia. Dalam benaknya tidak bisa merangkai apa tujuannya diciptakan alam semesta ini, sebagai apa perannya dalam kehidupan, apa status dirinya terhadap makro sistim ini. Ia akan mengikuti rayuan orang-orang yg senantiasa mengajak untuk mengacuhkan Allah. Kecintaan yg bisa menjadi penghalang itu dapat berupa ambisi untuk memiliki materi-kekayaan, kedudukan-kehormatan, dan kepuasan sexual. Itulah bibit-bibit terjatuh dipingir jalan yg segera dimakan oleh burung-burung lapar.

Ada pula orang yg sudah mulai memahami cara beriman, dan siap untuk menerima dalam hatinya. Tetapi usaha itu disandarkan kepada kecintaan selain Allah, berlaku pamrih terhadap apa yg diperbuat. Berdoa untuk mendapat solusi dari masalah pribadi, beramal untuk mendapatkan materi yg berlipat-lipat, ke tempat ibadah agar dihitung sebagai orang alim, maka ia tidak memiliki akar bagi masuknya iman dalam dirinya. Ketika mengalami sebuah penindasan, penganiayaan, atau ancaman terhadap apa yg ingin diimaninya, dengan mudah niat yg besar itu menjadi luntur karenanya. Lebih baik menjilat ludah sendiri daripada tetap teguh pada tekad untuk beriman. Itulah bibit yg tercecer di bebatuan yg diantaranya terdapat tanah yg sedikit.

Berikutnya ada orang yg mulai memasuki keimanan kepada Allah, mulai melihat titik cerah dalam usahanya untuk menjadikan Allah sebagai sandaran utama. Tetapi ia tidak mensucikan konsep berfikir dari ajaran-ajaran lama materialistik yg meracuni kesadarannya. Sehingga dikala kekuatiran akan jaminan hidup di dunia menghantuinya, dikala kegentingan taraf hidup dirasa menghimpitnya, maka iman yang baru sedikit dalam hatinya itu tidak dapat berkembang, dan ia akan hilang dari kesadarannya. Ironisnya orang itu bisa menjadi serigala berbulu domba, menipu orang yg melihatnya dengan kulit agamis. Ini disebabkan ia membiarkan ajaran lama yang membimbing untuk menggapai materi sebagai kesempurnaan hidup bercokol dalam hatinya. Demikian makna dari bibit yg tumbuh dan dihimpit oleh semak belukar.

Sedangkan orang-orang yg membuka kesadarannya, dan menyambut pemahaman akan Firman Allah dengan besar hati, bahwa hanya Allah yang layak untuk diabdi, hanya Allah yg berhak untuk mengatur segala sesuatu termasuk kehidupan manusia, bahwa Allah yg menentukan hidup matinya manusia, maka Allah akan masuk ke dalam kesadarannya dengan menjelma menjadi sebuah kekuatan yg multidimensi. Dimensi individual maupun dimensi tatanan sosial. Ia tidak akan mengantuk ketika menggalinya, ia tidak akan lapar untuk menekuninya, ia akan terhindar dari ancaman penyakit, yakni penyakit kesadaran yg sedang merebak, ia akan mendapat perlindungan Allah sebagai penjamin kehidupan bagi segala makhluk. Ia akan seperti bibit yang baik jatuh ke tanah yg baik. Tumbuh, berkembang, dan membesar, menghasilkan buah yg baik.

Sebagai majikan, Allah pasti akan melindungi manusia yg ingin mengimani Firman Nya. Segala apa yg diperoleh orang itu akan dianggap sebagai sarana, bukan tujuan. Ia tidak akan bangga ketika mendapat materi, karena prinsip kepemilikan bukan lah ajaran dari Allah, tapi itu semua adalah amanah yang Allah titipkan kepada manusia. Karena hak milik segala sesuatu adalah kepunyaan Allah, manusia hanya punya hak pakai.

Ketika prinsip amanah ini yang menjadi acuannya dalam mengarungi hidup ini, maka manusia tidak akan sombong terhadap lainnya. Manusia akan perduli terhadap saudaranya yang kelaparan, tidak bisa menutup mata melihat saudara-saudara perempuannya yang hamil tanpa dukungan gizi yang cukup, tidak tinggal diam melihat anak saudaranya yang tidak bersekolah, tidak bisa istirahat ketika mengetahui saudaranya terlilit hutang-piutang yang membebaninya. Ia akan bersegera untuk mengeluarkan apa yang dimiliki bagi saudaranya yang membutuhkan, tanpa pamrih apapun. Karena kembali kepada prinsip amanah, bahwa apa yg ada padanya adalah bukan miliknya.

Iman bisa datang dan bisa pergi. Semua tergantung dari sikap manusia itu sendiri. Iman kepada Nya bukan berarti hanya percaya, tetapi ia adalah sebuah kepahaman akan kesejatian perintah Nya dan berkembang menjadi komitmen untuk mewujudkan hal-hal yang diramalkan dalam kehidupan manusia. Bukan sekedar ritus, bukan sebatas menyebut, tetapi ia harus menjadi sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan manusia sebagai pekerja Nya, tanpa diiming-imingi oleh hal lain. Dan syarat untuk beriman itu adalah tidak menjadikan hal-hal lain sebagai sesuatu yang menyaingi Tuhan. Termasuk tidak bercita-cita untuk menggunakan aturan lain selain buatan Nya.

Apakah kita menjatuhkan bibit itu di jalan, di bebatuan, di semak belukar, atau di tanah yang baik? Itu adalah pilihan. Setiap pilihan akan membuahkan konsekuensi besar dalam hidup. Dan kita pasti akan diminta pertanggung jawaban terhadap setiap pilihan yang diambil.

Saya telah kehilangan hak diskusi dimilis polman.
Mohon maaf jika sekiranya tulisan saya ini mengganggu polmaners.
Katakan saja, dan saya tidak akan memposting lagi. Sungguh, saya tak akan tersinggung.
Jika sekiranya bermanfaat – alhamdulillah.

Salam

Tidak ada komentar: