Sabtu, 27 Desember 2008

Jum'at, Sabtu, Minggu

Dear Pembaca yg percaya kepada para utusan Tuhan,

Tujuan penulisan ini, bukanlah untuk membuat keonaran. Bukan juga untuk menimbulkan kebingungan. Melainkan hanya uraian dari sebuah penelusuran. Penolakan langsung adalah hak azasi, penerimaan langsung juga tak berarti. Meskipun dengan sadar akan mengusik sesuatu yg diyakini sejak lahir, namun kejujuran berfikir menjadi faktor penting dalam mencari bahan renungan dalam pencarian, hingga kita dapat melengkapi referensi yg ada, guna menelusuri sumber yg jernih, dari sebuah kekeruhan peradaban.

Seperti keruhnya air sungai Ciliwung, hitam kotor dan semerbak tak sedap. Hanya penelusuran kehulu yg dapat memberikan air yg lebih jernih. Karena ditengah jalan, terlalu banyak lumpur, air buangan dan kotoran yg masuk ke sungai dari orang2 yg tidak bertanggung jawab, bercampur dengan sumber dari mata air yg jernih, hingga setibanya dibagian hilir menjadi hitam pekat seperti kegelapan. Demikian dan selalu demikian perumpamaan sebuah ajaran dan faham yg ada pada kehidupan.

Adapun diceritakan proses penciptaan alam semesta didalam Al-Kitab pada Kitab Kejadian, setelah dalam 6 hari (masa) Tuhan mencipta, maka masuklah kepada hari yg ke 7. Tuhan beristirahat. Disitu bukan berarti Tuhan lelah, tetapi masa itu dijadikan tanda bahwa Tuhan selesai dari proses penciptaan atas segala sesuatu pada hari ke 7. Inilah hari yg dimuliakan, hari terakhir, hari ke 7.

Juga menjadi bahan ingatan manusia, bahwa segala sesuatu yg ada di alam semesta ini – yg mencipta adalah Tuhan, yg mengatur juga Tuhan. Semua makhluk tunduk patuh pada aturan Tuhan. Maka tidaklah pantas jika ada manusia merasa dirinya dapat mengambil hak Tuhan untuk mengatur manusia lainnya menurut kepentingannya sendiri, karena itu adalah esensi perbudakan. Dan perbudakkan amat dibenci Nya.

Musa menjadikan hari ke 7 sebagai hari suci untuk manusia, dan hari itu wajib disucikan. Didalam Taurat begitu banyak ayat2 yg menceritakan bahwa betapa Ibrahim atau Abraham dijadikan sebagai Bapak dari banyak bangsa, bapaknya manusia. Prinsip hidup yg dijalankannya harus diikuti sebagai sebuah standard kebenaran. Maka apa yg dijalankan oleh Musa adalah kebiasaan2 Ibrahim, termasuk mensucikan hari ke 7. Begitupula Yesus yg mengikuti konsep hidup nabi sebelumnya yakni Musa, karena Musa mengikuti ajaran Ibrahim. Kedatangan Yesus bukan untuk mentiadakan hukum Musa (Taurat), tetapi ia datang untuk menggenapi hukum2 Taurat yang sudah diporak porandakan oleh manusia setelahnya (Mat 5:17) & (QS:61/6). Jika konsep yg diperjuangkan Yesus menyimpang dari Musa dan Ibrahim, maka tidaklah mungkin ada perintah dalam Quran untuk mengikuti Ibrahim, Ismail, Ishaq, Musa, dan Isa (Yesus) = QS: 2/136.

Kemudian bagaimana dengan Nabi Muhammad? Apakah ia juga mengikuti peribadatan hari yg ke tujuh? Lantas bagaimana dengan shalat Jumat?

Tidaklah Muhammad dikatakan sebagai orang yg taat (muslim) jika ia menafikkan ajaran2 yg diusung nabi2 sebelumnya. Dan berulangkali pula dituliskan dalam Quran bahwa Muhammad tidak meninggalkan Yesus, Musa, dan Ibrahim. Tetapi ia menjadi pelurus bagi ajaran2 yang sudah tercampur oleh rekayasa manusia.(QS:35/31 , QS:42/13)

Instruksi sholat Jum’ah pada QS surat 62/9 bukan berarti hari ke 6. Secara bahasa, kata Jum’at bukanlah nama hari. Karena kata Jum’at berasal dari bahasa arab yakni: Jumu’ah, Jami’ yang artinya berkumpul-bersama-kolektif. Jadi shalat jum’at tidak ada hubungannya dengan hari Jum’at. Karena hari setelah kamis itu dalam bahasa arab adalah “Sitta”, yaitu hari yg ke 6. sedangkan hari ke 7 bahasa arabnya Sabt/Sabath. Maka shalat Jum’at tidak berarti dilaksanakan pada hari yg ke enam, karena shalat jum’at adalah shalat (beraktifitas) yg berkumpul. Dan itu dilaksanaklan pada hari Sabath, bukan hari yg ke 6. Didalam Al-Qur’an jelas dikatakan Allah mengutuk orang yg tidak menghormati hari Sabath (QS 4/47), dan ada perjanjian khusus untuk hari Sabath (QS 4/154).

Mengapa hari ini shalat jum’at dilaksanakan pada hari yg ke 6? Sungguh aneh. Dari mana asal muasalnya ?! Jawabnya cerita itu bersumber dari riwayat-riwayat. Sedangkan riwayat adalah cerita yg disampaikan secara berantai dari sekian banyak orang, dituliskan sekitar 270 tahun setelah Muhammad wafat. Mengapa demikian?

Karena dikala Muhammad masih hidup, penulisan apapun diluar tulisannya, akan berbahaya terhadap kemurnian wahyu. Seperti perumpamaan penunjukan dari dua buah penunjuk waktu (arloji) – bukan satu, yg hanya akan menyebabkan kerancuan penunjukan waktu. Tidaklah mungkin ia membiarkan tulisan2 orang yg dapat membuat wahyu2 bercampur dengan pendapat manusia. Itulah sebabnya tidak pernah ditemukan catatan tertulis tentang riwayat sebelum tahun 270H. Semua catatan tentang riwayat adalah setelah tahun 270H. Berarti pernah ada semacam larangan untuk membuatnya sebelum tahun itu. Apalagi ternyata pelantun-pelantun kisah terpercaya itu adalah orang-orang penjajah Persia yg dahulu dikalahkan oleh kekuatan Islam, para pembuat petunjuk palsu, arloji palsu.

Tujuan mereka adalah membuat muslim meninggalkan sebuah kitab yg besar, dan sibuk dengan kitab riwayat-riwayat yg dituliskan sekian ratus tahun setelah kepergian Muhammad. http://azwarti.wordpress.com/2008/08/06/menguak-konspirasi-persia-dalam-merusak-islam-dan-memecah-belah-muslimin-part-1/

Persis seperti Constantine pada tahun 325M yg telah mengecoh pengikut-pengikut Yesus dengan merancang kitab-kitab yang diklaim oleh mereka sebagai kitab suci yg benar diantara beratus kitab lainnya. Padahal dalam prosesi pemilihannya amat banyak kejanggalan dan rekayasa bangsa romawi beserta rahib yahudi yg tidak menginginkan pengikut-pengikut Yesus tetap pada imannya. Karena mengimani apa yg diajarkan Yesus akan cenderung mengakomodir umat untuk mengadakan perlawanan terhadap penguasa (Luk 22:37). Mengikuti ajaran Yesus merupakan sebuah harga yg mahal bagi penguasa, karena di dalam ajarannya, Yesus memperjuangkan sebuah kerajaan Tuhan secara nyata (De facto) di bumi, bukan khayalan.

Constantine berhasil menggeser hari kemuliaan Sabath menjadi hari Minggu, sebuah kesepakatan yg tak pernah ada didalam Alkitab, yg merupakan kesepakatan sintesa antara ajaran Yesus dengan agama Pagan penyembah Dewa Matahari, hingga diberi nama hari matahari (SUN-DAY). Padahal, didalam Al-Kitab, terdapat 145 ayat yg menyatakan kemuliaan dihari Sabath, dan tidak satu ayatpun berkata bahwa hari Minggu adalah hari mulia. Kasusnya sama dengan pergeseran sholat Jum’at ke hari Sitta.

Demikianlah hingga umat Islam maupun Kristen hari ini berselisih tentang hari mulia mereka. Padahal hari asli yang diajarkan Bapak kita Ibrahim adalah hari yg sama, dan harusnya - dengan kebenaran yg sama.

Tuhan tidak menginginkan manusia terpecah menjadi Islam, Kristen, maupun Yahudi. Tapi itu adalah buah dari peradaban yg muncul seiring dengan bergulirnya dinamika kehidupan umat manusia. Maka mengapa harus saling bermusuhan? Bukankah pada jaman Yoshua, bani Israil (keturunan Ishak) merangkul bani Kedar dan Nebayot yg dari keturunan Ismail? Bukankah Yesus juga melakukannya demikian? Dan bukankah Muhammad justru mengajak para ahli kitab untuk mengusung kalimat yg satu dan tidak saling berselisih? [QS 3:64]

Bukankah Muhammad mengasihi kaum Yahudi? Bahkan salah satu istrinya adalah keturunan Yahudi yang bernama Mariah. Maka Muhammad bukan mengedepankan suku/golongan. Mengapa tidak dimulai dengan mencari persamaan antara apa yg diyakini oleh kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi? Mengapa tidak mulai dari mengupas dengan teliti apa-apa yg diajarkan oleh Ibrahim sebagai Bapak yang diakui oleh kaum Muslim, Yahudi, dan Nasrani?

Jika anda yg membaca tulisan ini menanggapi dengan kesombongan agama yg dipeluk, maka yakinlah bahwa sampai kapanpun anda akan terperangkap oleh pembelaan ritus dan simbol yg tidak berguna di dalam memintal tali persaudaraan diantara manusia. Anda akan sibuk dalam membela tradisi yg turun temurun. Padahal Tuhan berkali-kali memerintahkan manusia untuk bersatu dalam ketaatan kepada Nya, bukan taat kepada agamanya.

Demikian penelusuran sungai ke hulu yg dapat dilakukan. Semuanya kembali kepada kita sendiri. Apakah menjadi delete item? ataukah menjadi bahan penelusuran. Apakah seperti penduduk yg tinggal di hilir sungai yg telah terbiasa dengan kotornya air hingga tetap mencuci dipinggir sungainya?, atau mengambil langkah kepedulian untuk hidup sehat. Karena menyadari kekeruhan sungai hanya dapt dilakukan dengan pengamatan mata yg teliti dan hati2. Semerbak tak sedap tidak akan tercium oleh hidung kita yg tinggal di hilir disebabkan sudah se-hari2nya tinggal disitu dan terbiasa.

Salam
aca

Tidak ada komentar: