Jumat, 23 Januari 2009

Pendidikan materialis untuk anak (912)

Dear Bloggers,

Tidak ada orang tua yg menginginkan anaknya tidak bahagia.
Semua orang tua menginginkan anaknya mendapatkan yg terbaik.
Apapun itu.

Orang tua menginginkan kita menjadi anak laki yg kuat, anak wanita yg cantik, sekolah yg tinggi, berprestasi di sekolahnya, menjadi pintar, agar bisa berprestasi ditempatnya bekerja, menjadi profesional yg berhasil atau menjadi pengusaha sukses.

Itulah gambaran umum cita2 orang tua dari dulu hingga sekarang. Cita2 akan kesuksesan, kejayaan, keberhasilan dunia, se-sukses2nya, se-tinggi2nya, se-makmur2nya. Masih terngiang selalu dikuping kita, “Gantungkanlah cita2mu setinggi langit”.

Bloggers,
Dapat anda bayangkan besarnya nanti, seorang anak kecil yg masih murni ditiupkan ‘ruh’ motivasi dan idealisme kecintaan terhadap materi, ambisi glory, dan cita2 pendakian puncak kesuksessan yg tinggi yg tiada henti. Kita sebagai orang tua, telah menjadi motivator terhadap anak kita, menanamkannya motiv2 itu, beribu2 motiv.

Segala motiv selalu berkaitan dengan kemaslahatan dan kemakmuran bagi dirinya, seolah kemakmuran adalah satu2nya kesejahteraan. Kita sebagai orang tua, secara tak sengaja, telah membentuk anak2 kita menjadi manusia pengejar kemakmuran semata.

Beberapa orang tua membisikkan juga “.... berguna bagi nusa, bangsa, dan agama”, tapi... kebanyakan itu adalah komplimen. Yg terpenting adalah buat dirinya sendiri dulu. Kenyataannya kita semua meletakkan prestasi pelajaran sekolah sebagai sebuah ultimatum – sedang pembentukan karakter sebagai alternatif. Masalah berbakti dan mengabdi, baru bisa lancar kalau kepentingan dirinya terselesaikan terlebih dahulu.

Belum lagi jika orangtua bertemu dengan orang tua saling bertanya. Saya pernah ikutan arisan ibu2 (waktu saya jadi ketua er-te, hiks), ”jeung... ana’e sekolah nangendi...?”. “Si anu gawe nang ngendi?”. “eee..alaaa... kalo anak ku yg pertama calon dokter lhoo...”, ucap sang ibu dengan suara agak lantang di arisan ibu2”. “Ooo kalo anakku kerja di Nyu yok”. Sedang dipojokan lainnya, Ibu soska yg anaknya tidak kuliah tak sanggup mengangkat muka, hanya bisa diam ngobrol setengah berbisik kepada ibu2 lain yg ekonominya ngepas juga. Masing2 ibu2 itu saling mengelompok. Polmaners, anda tahu dasar kelompok mereka? kemampuan ekonomi! Ruarrr biasa! Padahal mereka satu kompleks! Inilah kenyataan hari ini. Apapun itu, selalu dinilai dari ‘emas dan perak’ yg mereka miliki.

Hari ini, orang tak sadar, kemakmuran menjadi kemuliaan. Tetangga kami seorang Jendral dengan rumah 2000 m2 tingkat tiga dengan mobil 10 menjadi model manusia yg dicita2kan para tetangga untuk membentuk anak2nya. Apapun kata sang jenderal, selalu menjadi bijak. Siapapun yg tak disukai Jenderal akan menjadi musuh warga. Disisi lain, tetangga kami pak Makmur (dengan nasib kebalikan) yg rumah depannya menjadi pembuangan sampah, hanya menjadi pelengkap penderita, tersingkir dari peradaban.

Bloggers,
Siapapun perlu makan. Bukan hanya kita dan anak2 kita nantinya. Tentu saja mereka perlu bisa cari makan sendiri. Tapi sadarkah kita bahwa yg kita lakukan bukan lagi sekedar cari makan?! Yg kita lakukan bukan lagi sekedar mobil atau tempat tinggal. Bagi polmanes yg baru lulus, target sementaranya hanya baru itu. Namun bagi yg sudah 40 keatas, saya yakin bukan itu lagi.

Maslow, membuat sebuah teori yg namanya hierarki maslow. Kita semua tahu itu saat kuliah. Mulai dari kebutuhan primer/dasar, sekunder (rasa aman) dan tertier (kepemilikan), kebutuhan esteem (pengakuan dari orang lain), baru kemudian Aktualisasi Diri. Ia menggambarkannya sebagai sebuah hierarki. Hierarki artinya tahapan (proses). Brarti kalau primer gak punya tidaklah mungkin ia bisa memenuhi kebutuhan sekunder. Buat makan aja kembang kempis, gimana buat beli mobil atau rumah.

Maslow meletakkan kebutuhan aktualisasi diri pada tahapan paling akhir. Sepertinya orang gak bisa menempuh jalan yg baik bagi dirinya sebelum kebutuhan2 lainnya tersebut terpenuhi.

Orang yg bertanggung jawab atas pengajaran ini kepada saya adalah mas Ketut Tedja.
Karena mas Ketut lah yg mengajarkan ini kepada saya dan kawan polmaners lainnya pada saat kuliah dulu. Mas Ketutlah orang yg mengajarkan kami untuk menjadi sesukses ini,
Tapi mas Ketut juga harus bertanggung jawab hingga kami menjadi mahluk materialis dan kapitalis seperti sekarang ini (he3...).

Bloggers,
Akan kah ini kembali berulang kepada anak kita?
Apakah yg akan kita tanamkan buat mereka nantinya?
Apa yg kita kejar selama ini?
Tinggi dan setinggi2nya karier?
Besar dan sebesar2nya perusahaan?
Kapankah kita berhenti mendaki?
Benarkah pendakian ini harus kita lakukan?
Beberapa dari kita menganggap pendakian ini ibadah,.,. benarkah demikian?
Mencari nafkah adalah ibadah,.,. benarkah demikian?
(saya tidak melihat ada mahluk hidup yg tidak nyari makan).
Melakukan pendakian sukses adalah bentuk ibadah,.,. benarkah demikian?
Belanda sukses membangun negerinya dengan menjajah 350 tahun.,.
benarkah mereka beribadah?

Pertanyaan terakhir,
Apakah kamakmuran menjamin kebahagiaan dan keselamatan?

Salam
aca

Tidak ada komentar: